Saat ana pernah mengikuti kajian, seorang ustadz pernah mengatakan bahwa kaum muslimin berada di masjid itu seperti ikan dalam air dan bukan seperti cacing di atas abu. Secara logika, ikan memang hidup di air, sehingga jika diletakkan di air ia akan merasa nyaman. Sedangkan cacing yang sejatinya hidup dalam kesempitan dan kegelapan bawah tanah, jika diletakkan di atas abu maka ia akan meronta-ronta karena tidak betah dan bahkan kesakitan.
Demikianlah memang seharusnya kita sebagai umat islam yang seharusnya ketika berada di masjid akan merasa “FEELS LIKE HOME”.
Sudah berabad-abad kita prihatin dengan kondisi masjid-masjid kita yang jauh dari makmur. Dalam artian sepi dari hadirnya para jamaah, kecuali dalam momen-momen tertentu seperti: ibadah jumat, sholat hari raya, pembagian zakat, peringatan hari besar islam, acara akad nikah, dsb. Selebihnya, masjid lebih sering kosong melompong meski di saat waktu-waktu sholat fardhu.
Lalu bagaimana cara membuat masjid-masjid kita menjadi lebih makmur??? Meski Rasulullah saw. pernah mengancam akan membakar rumah kaum muslimin tetangga masjid yang tidak sholat fardhu berjamaah di masjid, ternyata sabda itu kurang ampuh untuk menggugah motivasi kaum muslimin untuk bergegas ke masjid. Apakah cukup hanya menyalahkan godaan setan yang selalu membujuk manusia untuk jauh dari syariat??? Apakah cukup hanya mengandalkan seruan-seruan dogmatis dari para ulama agar umat bergairah ke masjid??? BERHENTILAH menyebut-nyebut kemunduran umat islam sebagai hasil dari gerakan konspirasi global yang dimotori oleh yahudi dan kristen!!! Ayo kita melihat KONDISI OBYEKTIF umat dan mulai MEMIKIRKAN SOLUSINYA!!!
Inti pemikiran ana sebenarnya adalah bagaimana membangun sistem pengelolaan masjid secara moderen. Untuk itu, visi para takmir dan pengelola yayasan masjid harus berubah total. Takmir masjid harus menjelma menjadi profesional standar kantoran dan manajemen pengelolaan masjid harus setara perseroan terbatas, jika perlu berstandar ISO! Masjid harus memiliki misi sebagai: COMMUNITY SERVICE PROVIDER.
Lihatlah bagaimana kebanyakan masjid-masjid dikelola dengan apa adanya bahkan serampangan. Lihatlah bagaimana posisi takmir masjid atau marbot dipandang sebagai jabatan suka rela, paruh waktu, sisa waktu dan tenaga, serta jauh dari sikap-sikap profesionalisme. Dampaknya, lihatlah bagaimana pelaksanaan ibadah-ibadah ritual di masjid yang tidak berjalan lancar, tidak mampu menghadirkan atmosfer spiritual yang khusyu’ kepada jamaahnya, dan pada akhirnya jauh dari sebutan ‘diterima oleh ALLAH’. Naudzubillah…
Sebenarnya, ana iri dengan rumah-rumah ibadah umat lain yang ternyata dikelola secara profesional dan moderen. Kehidupan rumah ibadah itu tidak lagi bertumpu kepada kotak infak yang diedarkan saat ibadah (atau bahkan meletakkan kotak sumbangan di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan bendera agar pengguna lalu lintas melambat dan memberikan sumbangan). Rumah-rumah ibadah itu hidup dari pelayanan umat seperti layaknya sebuah perusahaan penyedia jasa. Hasilnya, tidak hanya umat berbondong-bondong datang beribadah, namun juga terbangun loyalitas dalam diri setiap jamaah terhadap komunitas religiusnya.
Tentu tidak semua masjid memperihatinkan. Di suatu daerah ada lho yayasan masjid yang dikelola profesional hingga memiliki baitul maal yang omzetnya miliaran rupiah dan bahkan memiliki lembaga pendidikan terpadu mulai dari jenjang Kelompok Bermain hingga SMA.
Ujung-ujung Duit alias UUD. Harus diakui, masalah yang satu ini yang kemudian menjadi faktor penting peningkatan kualitas layanan. Mana ada sih marbot yang digaji dengan layak??? Jika gajinya tidak layak, ya jangan berharap dong kerjanya bagus. Meski, jika digaji layak pun kita bisa bertanya adakah jaminan kualitas kerja marbot akan baik.
Menggaji marbot hanya segelintir masalah. Sebuah masjid, bagaimanapun juga membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Sebut saja, membayar rekening listrik dan air setiap bulan kan pakai uang, bukan daun. Mengganti karpet yang sobek, mau diambilkan uang darimana? Cat dinding yang mengelupas, apa harus menunggu sumbangan cat dari jamaah?
Ini adalah hal yang saling timbal balik. Dengan dana yang cukup, masjid bisa memberikan pelayanan yang baik. Bisa pula dipandang sebaliknya, dengan membuka berbagai macam pelayanan kepada umat, masjid bisa mendapatkan sumber pendapatan yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas pelayanannya.
Berikut ini, ana coba menginventarisasi potensi-potensi yang bisa dijadikan sumber pemasukan bagi masjid sekaligus peluang-peluang untuk memberikan pelayanan kepada umat:
Menyewakan menara masjid sebagai tower BTS
Atas nama ketertiban dan estetika kota serta mempertimbangkan aspek keselamatan, Depkominfo telah mengeluarkan regulasi pembatasan pembangunan menara BTS baru. Akibatnya para penyedia jasa telepon selular kesulitan memperluas cakupan pelayanan jaringannya. Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh yayasan masjid dengan menyewakan menara masjidnya untuk dijadikan BTS. Konon, sewa kontraknya mencapai ratusan juta rupiah per operator per tahun. Lumayan, kan.
Membuka unit pelayanan zakat dan infaq
Tidak hanya memungut zakat dan infaq dari umat secara pasif, namun unit ini harus bergerak secara aktif. Edukasi umat melalui brosur, buletin, dan website, seminar dan workshop, serta kerjasama dengan media massa harus rutin digelar. Aksi-aksi sosial seperti tanggap darurat bencana, program beasiswa dhuafa, dan pembinaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus menjadi agenda tetap.
Unit ini tidak hanya menjadi pengumpul zakat dan infaq, tetapi harus dapat memposisikan diri sebagai konsultan zakat bagi umat. Misalnya. secara aktif melakukan ekspansi ke perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor melalui layanan jemput zakat dan infaq serta menawarkan program dakwah dan pengajian rutin dengan menyediakan da’i/da’iyah yang kompeten. Beberapa model nyata dari unit pelayanan zakat ini, sebut saja: Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF), Rumah Zakat Indonesia, dan masih banyak lagi.
Membuka layanan konsultasi pernikahan, keluarga, dan parenting
Keluarga adalah satuan masyarakat terkecil dalam sebuah negara. Lewat keluargalah para penggerak sendi-sendi kehidupan negara memulai kehidupannya. Dari keluargalah benih-benih generasi penerus perjuangan umat disemai.
Konon, di sebuah negara tetangga, pasangan calon pengantin yang hendak menikah harus mengikuti semacam kursus sebelum diijinkan melakukan ijab qobul. Kursus ini mencakup segala hal mulai dari kesehatan, reproduksi, mempersiapkan kelahiran anak hingga merawat dan mendidiknya, hak dan kewajiban anggota keluarga menurut Undang-undang negara, aspek-aspek psikologi keluarga, bahkan hingga manajemen konflik dalam keluarga. Ternyata menjadi suami/istri dan orang tua ada sekolahnya!
Mereka menganggap keluarga sebagai sebuah isu yang amat sangat urgent. Logikanya masuk juga. Membangun negara yang kuat harus dimulai dari membuat keluarga yang kuat pula. Notabene, mereka adalah negara liberal sekuler dengan mayoritas penduduknya non muslim.
Bagaimana dengan umat islam??? Mengapa urusan membangun keluarga belum menjadi prioritas penting??? Padahal, setiap ada yang menikah kita selalu mendoakan, “Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.” Doa itu tentunya bukan sekedar basa-basi, kan???
Membuka layanan pendidikan diniyah
Masih banyak lho umat yang pemahaman tauhidnya belum lurus. Ada lagi yang bahkan berwudhu saja masih belum sempurna. Sementara sebagian besar umat islam tidak paham bahasa Arab sebagai pengantar quran, apalagi ilmu-ilmu hadits.
Masjid bisa membuat terobosan dengan mengemas pelajaran-pelajaran diniyah (aqidah, fiqh, quran, hadits, bahasa Arab) menjadi paket-paket pelatihan yang bisa disesuai dengan tingkat pendidikan maupun latar belakang pemahaman islam. Lembaga pendidikan ini adalah perluasan dari TPA/TPQ atau PAUD yang pada kenyataannya juga dikelola dengan ala kadarnya. Jadi, yang dibidik tidak hanya anak-anak kecil, kesannya yang harus mengaji hanyalah anak-anak saja. Padahal, orang tuanya belum tentu lancar mengaji dan paham kaidah-kaidah fiqh yang mendasar.
Tentu masih banyak lagi ide-ide yang bisa dikembangkan. Bukan tidak mungkin masjid membuka unit-unit bisnis sekaligus (baca: harus) menjadi model penerapan ekonomi berbasis syariat islam. Selama ini yang kita tahu, SPBU memiliki musholla. Bagaimana jika kondisinya dibalik, masjid yang memiliki SPBU. Kayaknya keren kan tuh!
Tapi ingat, jangan sampai yayasan masjid jadi obyek rebutan harta dan kekuasaan. Wah, kalau begini sih, bubar saja. Dibutuhkan pengurus-pengurus yayasan masjid yang bertauhid lurus, profesionalisme tinggi, dan memiliki pribadi yang berintegritas.
Wallahu’alam..