Akankah Berhenti Menulis??

Entah, terkadang tangan ini lelah menulis. Lelah mengikat arti dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Terkadang tangan ini jenuh menulis dan membiarkan yang ada di hadapan dan dalam hati berlalu begitu saja. Lalu terbesit untuk menyimpan bendahara kata dalam hati tanpa mengeluarkannya ke dalam bentuk tulisan. Membiarkannya terhapus waktu, tergerus terbawa angin. Atau membiarkannya tersimpan tanpa ada yang mengetahuinya.

Ada kalanya gambar yang tertangkap oleh mata ini, kembali mengabur tak terlihat jelas lalu menghilang. Ada kalanya makna yang tertangkap oleh hati ini terlepas tak kembali lalu terlupa. Ah, adakah penulis yang tak pernah menulis kembali? Adakah penulis yang tak pernah bercerita, tentang isi hatinya, tentang makna yang terjaring melalui mata dan hatinya?

Menulis… terkadang bagi yang menulis merupakan rangkaian isi hati yang sayang untuk dilewatkan. Terkadang menulis layaknya bercerita tentang indahnya malam kepada sang malam itu sendiri. Terkadang menulis layaknya mengikat arti saat ini untuk kelak kembali dibuka, bahwa dulu ini sempat tertulis. Lalu tersenyum… Layaknya reuni dengan hati yang terlupa.

Mungkin bagi penulis sejati, ketika ruang dan waktu menahannya untuk menulis, ia akan tetap menulis. Atau ketika kelelahan menyergap, saatnya reuni dengan hati menyapa untuk kembali semerbak. Seperti penjara bukanlah tempat untuk berhenti menulis. Ketiadaan pena, bukanlah alasan untuk tidak menulis. Atau ketika kebenaran dihalangi kecurangan. Atau ketika cahaya di hati ditutupi kegelapan tirani.

Ya, menulis layaknya bercerita tentang malam kepada sang malam, menulis layaknya mengutarakan isi hati yang tersimpan untuk membuka yang tertutup. Menulis layaknya untuk diri sendiri tapi menyentuh hati yang lain. Dan ketika lelah menyergap, kelak engkau akan kembali dibangkitkannya.

Percakapan Ayah dan Sang Anak

Seorang anak bertanya pada ayahnya, “Mengapa Ayah tadi ikut makan bersama tamu? Apakah Ayah lupa kalau hari ini sedang berpuasa?”

Ia terkejut dengan jawaban sang Ayah.

“Ayah tidak lupa. Ayah sengaja berbuka.”

“Ayah pernah bilang, bahwa puasa itu harus karena Allah. Jelas-jelas Ayah berbuka karena ada tamu, mengapa Ayah bilang itu juga karena Allah?” Sang anak melipat dahi, berpikir, tak mengerti.

Dengan tenang, Ayah menjawab kebingungan anak sulungnya. “Ayah hari ini puasa sunnah. Dan Ayah sengaja membatalkan puasa karena Ayah ingin memuliakan tamu Ayah.”

Ayah tahu jawaban itu belum memuaskan rasa penasaran sulungnya. Maka, Ayah pun bercerita tentang sahabat rasul yang ia dapat dari guru ngajinya beberapa waktu yang lalu.

Adalah Salman Radhiyallaahu ‘anhu – seorang sahabat Rasulullah – bertamu di kediaman Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu, yang mana ketika itu Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu sedang berpuasa (sunnah). Abu Darda menyuguhkan jamuan untuk Salman. “Makanlah, saya berpuasa,” katanya. Salman menjawab, “Saya tidak akan makan, jika engkau tidak makan bersama saya.” Akhirnya Abu Darda pun membatalkan puasa dan makan bersama Salman. Keesokan harinya, Abu Darda menyampaikan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaih wa sallam tentang kisahnya dengan Salman, dan Rasulullah membenarkan Salman.

“Karena itulah, Ayah sengaja berbuka agar Om Fulan tidak segan memakan apa yang Ayah suguhkan.”

Sejauh itu, sang anak bisa menerima penjelasan ayahnya. Tapi, ada satu hal yang belum bisa ia pahami. “Jika Ayah memuliakan tamu, mengapa Ayah mengusir Om Fulan?”

Kali ini Ayah yang terkejut. Tak pernah ia mengusir seseorang dari rumahnya. Tidak kali ini, tidak juga di waktu-waktu yang lain.

“Ayah memang tidak terang-terangan mengusir Om Fulan, tapi sejak Ayah mengajak shalat berjama’ah di mushala, Om Fulan langsung pamit pulang,“ sang anak menjelaskan.

Ayah tersenyum ringan. “ Ayah tidak bermaksud mengusir Om Fulan, Ayah hanya mengajaknya shalat ketika adzan Dzuhur berkumandang.”

“Ayah bisa saja shalat di rumah, dan tidak harus saat itu juga!” protes sang anak.

“Kamu tahu, pahala terbesar adalah shalat yang dikerjakan di awal waktu, secara berjama’ah, dan bagi kaum laki-laki lebih utama di masjid atau di mushala?”

“Apakah bukan karena Om Fulan tersinggung dan marah? Jangan-jangan dia kapok, tidak mau main ke sini lagi, Yah?” sang anak khawatir.

Ayah kembali tersenyum ringan. “Ayah rasa kekhawatiranmu terlalu berlebihan. Insya Allah Om Fulan baik-baik saja. Ayah kenal baik Om Fulan. Dan satu yang harus kamu ketahui, memuliakan tamu bukan berarti menggugurkan kewajiban kita lainnya kepada Allah. Om Fulan bisa saja shalat di rumah kalau memang dia enggan Ayah ajak shalat di mushala, Ayah tak bisa memaksanya. Ayah mengajak shalat di mushala bukan tidak memuliakan tamu, justru Ayah ingin berbuat kebaikan dengan mengajak tamu Ayah,” panjang lebar Ayah menjelaskan. “Intinya, Om Fulan pamit pulang bukan karena ayah mengusirnya. Insya Allah, dia tidak tersinggung, marah, apalagi kapok silaturrahim ke sini. Barangkali dia ada kepentingan lain, dan sebenarnya sudah dari tadi ingin pulang tapi bingung mencari alasan.“

Sang anak mengangguk, mengerti. Jelas sudah kini semuanya. Dan untuk terakhir kalinya, ia bertanya. “Yah, boleh nda kalau bada’ maghrib nanti teman-temanku main ke sini? Bukan untuk belajar bersama, hanya main saja, sama seperti biasanya.”

“Boleh saja, silahkan!” jawab Ayah. “Tapi kamu tidak lupa mengatakan pada mereka, bahwa bada’ Isya kamu ada jadwal mengaji, kan? Kalau mereka ingin lama, sebaiknya kamu tawarkan untuk datang lain waktu saja. Ayah tidak ingin kamu bolos ngaji. Ajaklah mereka untuk ikut ngaji bersamamu. Kalaupun mereka tidak mau, bukan berarti kamu boleh membolos. Muliakanlah tamumu, tapi jangan sampai kau abaikan kewajibanmu!“

TAQWA

Maju mundur? Seperti kendaraan saja ya? Kok bisa sih? Ya, taqwa itu adalah maju mundur. Maju dalam hal berbuat kebaikan dan mundur dalam hal berbuat kemungkaran. Ternyata betul, taqwa itu seperti halnya kendaraan. Kendaraan taqwa ini hanya akan jalan jika diisi dengan hal yang makruf, yaitu segala sesuatu yang baik. Kebaikan merupakan bahan bakar dari kendaraan taqwa ini. Jika suatu kendaraan tidak diisi dengan bahan bakar yang sesuai, pastinya mesin kendaraan tersebut tidak dapat bekerja. Dalam hal ini dapat dipastikan kendaraan ini tidak akan bergerak.

“Aku khawatir terhadap suatu masa yang roda kehidupanya dapat menggilas keimanan. Keimanan hanya tinggal pemikiran, yang tidak berbekas dalam perbuatan. Banyak orang baik tapi tak berakal. Ada orang berakal tapi tak beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai. Ada yang khusyuk, namun sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat rendah hati bagaikan sufi. Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat, dan ada yang banyak menangis karena kufur nikmat. Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat, dan ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan, dan ada pelacur yang tampil jadi figur. Ada orang punya ilmu tapi tak paham, ada yang paham tapi tak menjalankan. Ada yang pintar tapi membodohi, ada yang bodoh tak tau diri. Ada orang beragama tapi tak berakhlak, dan ada yang berakhlak tapi tidak bertuhan. Lalu di antara semua itu di mana aku berada?” (Imam Ali bin Abi Talib R.A.).

Inilah renungan yang harus kita jawab masing-masing tanpa mengkhianati diri sendiri dengan kebohongan yang tidak akan pernah diterima oleh akal sehat manusia sebagai makhluk yang mulia.

Kawan . . .

Ketika kehidupan memberimu seribu alasan untuk menginginkan sesuatu, pahamilah bahwa Allah punya sejuta pengetahuan akan kebutuhanmu. Awali setiap hari indahmu ini dengan rasa syukur, nikmati tiap detiknya dengn ketetapan hati dan akhri kelelahan hari ini dengan seulas senyum dan ikhlas. Cukupkan Allah sebagai saksi dan tujuan, karena Dia-lah sebaik-baik pemberi balasan.

Taqwa itu adalah maju mundur, kawan! Bersanding dengan keimanan yang berperan mengendalikan taqwa. Bahan bakar yang murni untuk menggerakkan mesin agar tetap maju. Menghindari kerusakannya dengan kejahilan.

Sepeda Motor Hilang?? Cari Di Al Qur’an Ajaah…!

Terdengar keras pintu masuk dibanting kuat-kuat. Mendengar itu Bu Dedeh bertanya-tanya dalam hati: “Siapa gerangan itu?”

Ternyata Tabrani, anaknya yang baru pulang dari kantor.

“Kenapa Sep? Kok kamu kelihatan gusar begitu? Apalagi , apa gak malu didengar tetangga, pintu itu kamu banting keras-keras? “

“Maaf Bu. Aku kena musibah. Motorku dicuri orang di kantor. Semua orang di kantor dan petugas satpam juga tidak tahu menahu. Aku sudah lapor polisi terdekat, walau tahu itu percuma. Aku benar-benar kalut saat ini. Apalagi kreditannya belum selesai. Aduhhh! harus cari di mana yah!!??? Sepertinya aku benar-benar ingin menghabisi orang yang curi motorku itu, jika beruntung ketemu nanti. Awasss!!!” cerita Tabrani tak ada ujungnya.

Ibunya melihat kegusaran anaknya berlebihan. Ingin rasanya memeluk dan mengelus dadanya. Namun ia pikir, saat ini ia tidak bisa menghadapi anaknya dengan tenang. Untuk apa menghadapi sebuah batu.

“Coba kamu cari motormu di Al Qur’an!” seru ibunya sambil berlalu kembali ke kamarnya, sambil berharap ada air yang bisa menghancurkan batu itu.

“Ibu ngomong apa seh? Tidak bisa lihat aku lagi kesal apa? Kok bisa-bisanya ngelantur seperti itu.” bisik hati Tabrani panas membara.

***

Beberapa hari kemudian, Tabrani keluar kamar dengan tampak cerahnya. Lalu ia menghampiri ibunya, sambil menyematkam ciuman sayang didahi perempuan tua itu.

Leila adiknya yang berada di situ hanya terheran-heran. “Ketemu jodoh kali?” bisik otaknya.

“Terima kasih ya Bu! Sudah menjadi ibu yang terbaik, terbaik dari segala perempuan!”

“Gombal! Kamu kenapa seh?” tanya Bu Dedeh yang masih memerah pipinya.

“Aku sudah menemukan motorku!”

“Oh yah? Alhamdulillah! Ketemu di mana?”

“Ya di Al Qur’an lah Bu. Khan ibu yang bilang.”

Bu Dedeh tersenyum cerah.

“Motor? Di Al Qur’an? Emang bisa? Di mana?” tanya Leila.

“Di ayat-ayat kesabaran, di ayat-ayat keikhlasan, di ayat-ayat bahwa harta itu hanya pinjaman. bukan milik kita, tapi milik Allah!” jawab Tabrani sambil tersenyum kepada adiknya.

“Ooo gitu toh! Baguslah! Aku udah lama khawatir dengan keadaan Aa.”

“Iya La! Jangankan motor, kamu dengar tidak berita di tv beberapa waktu lalu. Ada orang yang membunuh penjual pulsa, lantaran pulsa yang ia beli tidak kunjung masuk. Padahal pulsa itu hanya seharga Rp. 10.000,-. Tapi bisa mengubah orang jadi ganas dan lupa diri. Makanya kita harus belajar bersabar dan ikhlas! Apalagi hidup di negara ini yang terasa semakin sempit saja.” kata Bu Dedeh kepada anak-anaknya yang tercinta.

Tabrani dan Leila mengangguk paham.

Jilbaber ke Blink er

“Duk cek… Duk cek… Duk cek…” Suara drum membahana, di saat vokalis menyenandungkan nada, ramai sorak penonton. Banyak juga di baris pertahanan terdepan para jilbaber bersorak ramai. Para jilbaber pun ikut menyanyikan lagu melow sambil melambaikan tangan.

Dari atas bertutup rapi sampai ke sekitar pundak, lalu lho kok? Eh, lho kok semakin ke bawah semakin menyempit? Jilbaber pada umumnya, dari kepala tertutup rapi, sampai ke bawah semakin melebar, hingga bagian kaki semakin melebar. Tapi di garis pertahanan terdepan konser itu, ada makhluk aneh yang membuat orang lain geleng-geleng. Tubuh tertutup kostum ketat, ada juga yang memakai potongan lengan pendek.

Lalu semakin ke bawah terlihat belahan kaki yang menandakan memakai celana, belum lagi yang ketatnya minta ampun. Ane pun bingung, apa hanya bagian kepalanya saja ya yang dimasukkan surga? Entah mengapa begitu? Ngaji di mana para jilbaber itu?

Hmm… Tapi jangan dicerca jangan dihina, daripada tak berjilbab sama sekali. Jangan juga dianggap salah, mungkin potongan dalil bagian tubuh ke bawah lupa dibaca dan dipahami, atau mungkin waktu ngaji masih bersambung, pekan depan bahasan mengenai pakaian bagian bawahnya. Yang jelas, itulah lahan dakwah kita.

Miris sekali melihat fenomena jilbaber seperti itu. Sudah saatnya kita bertindak untuk mendekati dan mengajak mereka memahami makna jilbab sebenarnya. Jilbab yang bukan hanya sekedar pakaian atau mode, tetapi sekaligus sebagai jilbab hati atau akhlak.

“Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal dan tidak diganggu orang. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab : 59).

[Bukan] Masjid Biasa

Saat ana pernah mengikuti kajian, seorang ustadz pernah mengatakan bahwa kaum muslimin berada di masjid itu seperti ikan dalam air dan bukan seperti cacing di atas abu. Secara logika, ikan memang hidup di air, sehingga jika diletakkan di air ia akan merasa nyaman. Sedangkan cacing yang sejatinya hidup dalam kesempitan dan kegelapan bawah tanah, jika diletakkan di atas abu maka ia akan meronta-ronta karena tidak betah dan bahkan kesakitan.

Demikianlah memang seharusnya kita sebagai umat islam yang seharusnya ketika berada di masjid akan merasa “FEELS LIKE HOME”.

Sudah berabad-abad kita prihatin dengan kondisi masjid-masjid kita yang jauh dari makmur. Dalam artian sepi dari hadirnya para jamaah, kecuali dalam momen-momen tertentu seperti: ibadah jumat, sholat hari raya, pembagian zakat, peringatan hari besar islam, acara akad nikah, dsb. Selebihnya, masjid lebih sering kosong melompong meski di saat waktu-waktu sholat fardhu.

Lalu bagaimana cara membuat masjid-masjid kita menjadi lebih makmur??? Meski Rasulullah saw. pernah mengancam akan membakar rumah kaum muslimin tetangga masjid yang tidak sholat fardhu berjamaah di masjid, ternyata sabda itu kurang ampuh untuk menggugah motivasi kaum muslimin untuk bergegas ke masjid. Apakah cukup hanya menyalahkan godaan setan yang selalu membujuk manusia untuk jauh dari syariat??? Apakah cukup hanya mengandalkan seruan-seruan dogmatis dari para ulama agar umat bergairah ke masjid??? BERHENTILAH menyebut-nyebut kemunduran umat islam sebagai hasil dari gerakan konspirasi global yang dimotori oleh yahudi dan kristen!!! Ayo kita melihat KONDISI OBYEKTIF umat dan mulai MEMIKIRKAN SOLUSINYA!!!

Inti pemikiran ana sebenarnya adalah bagaimana membangun sistem pengelolaan masjid secara moderen. Untuk itu, visi para takmir dan pengelola yayasan masjid harus berubah total. Takmir masjid harus menjelma menjadi profesional standar kantoran dan manajemen pengelolaan masjid harus setara perseroan terbatas, jika perlu berstandar ISO! Masjid harus memiliki misi sebagai: COMMUNITY SERVICE PROVIDER.

Lihatlah bagaimana kebanyakan masjid-masjid dikelola dengan apa adanya bahkan serampangan. Lihatlah bagaimana posisi takmir masjid atau marbot dipandang sebagai jabatan suka rela, paruh waktu, sisa waktu dan tenaga, serta jauh dari sikap-sikap profesionalisme. Dampaknya, lihatlah bagaimana pelaksanaan ibadah-ibadah ritual di masjid yang tidak berjalan lancar, tidak mampu menghadirkan atmosfer spiritual yang khusyu’ kepada jamaahnya, dan pada akhirnya jauh dari sebutan ‘diterima oleh ALLAH’. Naudzubillah…

Sebenarnya, ana iri dengan rumah-rumah ibadah umat lain yang ternyata dikelola secara profesional dan moderen. Kehidupan rumah ibadah itu tidak lagi bertumpu kepada kotak infak yang diedarkan saat ibadah (atau bahkan meletakkan kotak sumbangan di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan bendera agar pengguna lalu lintas melambat dan memberikan sumbangan). Rumah-rumah ibadah itu hidup dari pelayanan umat seperti layaknya sebuah perusahaan penyedia jasa. Hasilnya, tidak hanya umat berbondong-bondong datang beribadah, namun juga terbangun loyalitas dalam diri setiap jamaah terhadap komunitas religiusnya.

Tentu tidak semua masjid memperihatinkan. Di suatu daerah ada lho yayasan masjid yang dikelola profesional hingga memiliki baitul maal yang omzetnya miliaran rupiah dan bahkan memiliki lembaga pendidikan terpadu mulai dari jenjang Kelompok Bermain hingga SMA.

Ujung-ujung Duit alias UUD. Harus diakui, masalah yang satu ini yang kemudian menjadi faktor penting peningkatan kualitas layanan. Mana ada sih marbot yang digaji dengan layak??? Jika gajinya tidak layak, ya jangan berharap dong kerjanya bagus. Meski, jika digaji layak pun kita bisa bertanya adakah jaminan kualitas kerja marbot akan baik.

Menggaji marbot hanya segelintir masalah. Sebuah masjid, bagaimanapun juga membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Sebut saja, membayar rekening listrik dan air setiap bulan kan pakai uang, bukan daun. Mengganti karpet yang sobek, mau diambilkan uang darimana? Cat dinding yang mengelupas, apa harus menunggu sumbangan cat dari jamaah?

Ini adalah hal yang saling timbal balik. Dengan dana yang cukup, masjid bisa memberikan pelayanan yang baik. Bisa pula dipandang sebaliknya, dengan membuka berbagai macam pelayanan kepada umat, masjid bisa mendapatkan sumber pendapatan yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas pelayanannya.

Berikut ini, ana coba menginventarisasi potensi-potensi yang bisa dijadikan sumber pemasukan bagi masjid sekaligus peluang-peluang untuk memberikan pelayanan kepada umat:

Menyewakan menara masjid sebagai tower BTS

Atas nama ketertiban dan estetika kota serta mempertimbangkan aspek keselamatan, Depkominfo telah mengeluarkan regulasi pembatasan pembangunan menara BTS baru. Akibatnya para penyedia jasa telepon selular kesulitan memperluas cakupan pelayanan jaringannya. Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh yayasan masjid dengan menyewakan menara masjidnya untuk dijadikan BTS. Konon, sewa kontraknya mencapai ratusan juta rupiah per operator per tahun. Lumayan, kan.

Membuka unit pelayanan zakat dan infaq

Tidak hanya memungut zakat dan infaq dari umat secara pasif, namun unit ini harus bergerak secara aktif. Edukasi umat melalui brosur, buletin, dan website, seminar dan workshop, serta kerjasama dengan media massa harus rutin digelar. Aksi-aksi sosial seperti tanggap darurat bencana, program beasiswa dhuafa, dan pembinaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus menjadi agenda tetap.

Unit ini tidak hanya menjadi pengumpul zakat dan infaq, tetapi harus dapat memposisikan diri sebagai konsultan zakat bagi umat. Misalnya. secara aktif melakukan ekspansi ke perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor melalui layanan jemput zakat dan infaq serta menawarkan program dakwah dan pengajian rutin dengan menyediakan da’i/da’iyah yang kompeten. Beberapa model nyata dari unit pelayanan zakat ini, sebut saja: Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF), Rumah Zakat Indonesia, dan masih banyak lagi.

Membuka layanan konsultasi pernikahan, keluarga, dan parenting

Keluarga adalah satuan masyarakat terkecil dalam sebuah negara. Lewat keluargalah para penggerak sendi-sendi kehidupan negara memulai kehidupannya. Dari keluargalah benih-benih generasi penerus perjuangan umat disemai.

Konon, di sebuah negara tetangga, pasangan calon pengantin yang hendak menikah harus mengikuti semacam kursus sebelum diijinkan melakukan ijab qobul. Kursus ini mencakup segala hal mulai dari kesehatan, reproduksi, mempersiapkan kelahiran anak hingga merawat dan mendidiknya, hak dan kewajiban anggota keluarga menurut Undang-undang negara, aspek-aspek psikologi keluarga, bahkan hingga manajemen konflik dalam keluarga. Ternyata menjadi suami/istri dan orang tua ada sekolahnya!

Mereka menganggap keluarga sebagai sebuah isu yang amat sangat urgent. Logikanya masuk juga. Membangun negara yang kuat harus dimulai dari membuat keluarga yang kuat pula. Notabene, mereka adalah negara liberal sekuler dengan mayoritas penduduknya non muslim.

Bagaimana dengan umat islam??? Mengapa urusan membangun keluarga belum menjadi prioritas penting??? Padahal, setiap ada yang menikah kita selalu mendoakan, “Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.” Doa itu tentunya bukan sekedar basa-basi, kan???

Membuka layanan pendidikan diniyah

Masih banyak lho umat yang pemahaman tauhidnya belum lurus. Ada lagi yang bahkan berwudhu saja masih belum sempurna. Sementara sebagian besar umat islam tidak paham bahasa Arab sebagai pengantar quran, apalagi ilmu-ilmu hadits.

Masjid bisa membuat terobosan dengan mengemas pelajaran-pelajaran diniyah (aqidah, fiqh, quran, hadits, bahasa Arab) menjadi paket-paket pelatihan yang bisa disesuai dengan tingkat pendidikan maupun latar belakang pemahaman islam. Lembaga pendidikan ini adalah perluasan dari TPA/TPQ atau PAUD yang pada kenyataannya juga dikelola dengan ala kadarnya. Jadi, yang dibidik tidak hanya anak-anak kecil, kesannya yang harus mengaji hanyalah anak-anak saja. Padahal, orang tuanya belum tentu lancar mengaji dan paham kaidah-kaidah fiqh yang mendasar.

Tentu masih banyak lagi ide-ide yang bisa dikembangkan. Bukan tidak mungkin masjid membuka unit-unit bisnis sekaligus (baca: harus) menjadi model penerapan ekonomi berbasis syariat islam. Selama ini yang kita tahu, SPBU memiliki musholla. Bagaimana jika kondisinya dibalik, masjid yang memiliki SPBU. Kayaknya keren kan tuh!

Tapi ingat, jangan sampai yayasan masjid jadi obyek rebutan harta dan kekuasaan. Wah, kalau begini sih, bubar saja. Dibutuhkan pengurus-pengurus yayasan masjid yang bertauhid lurus, profesionalisme tinggi, dan memiliki pribadi yang berintegritas.

Wallahu’alam..

SEMU…


Sesuatu telah terjadi, aku mulai kehilangan hari-hari indah bersamanya. Aku ingin kembali merengkuh hari-hari indah itu, apakah aku harus menanti? Tapi, masih beratus hari lagi yang harus aku hadapi. Apakah aku akan mampu melewatinya? Haruskah aku jalani rasa sepi yang selalu menyapa di setiap deretan hari, sementara di sekelilingku banyak yang menawarkan kebahagiaan lain. Haruskah aku melepaskan diri dari lingkar penantian ini, yang kian hari kian membelengguku.

Kamu harusnya membenahi hidupmu. Setia pun harus pakai logika. Kamu memang setia, tapi setia terhadap kebodohanmu dalam mengartikan cinta yang selalu kamu agungkan. Tidak selamanya kamu harus bergantung pada cinta yang hanya memberikanmu kesepian, kesedihan, kekecewaan, penderitaan, luka hati yang mungkin akan sulit terobati, atau mungkin akan meninggalkan bekas di kemudian hari. Pikirkanlah nasihat orang-orang di sekelilingmu. Orang-orang yang juga sangat menyayangimu, yang ingin melihatmu bahagia. Janganlah terlalu sentimentil dalam menghadapi cinta. Jangan tutup telinga dan matamu terlalu rapat, karena itu bisa membutakan hatimu.

Mengapa semua orang seolah ingin memisahkan aku darinya? Mengapa tak seorang pun yang mendukung masa penantianku? Mengapa tak ada yang mendukung aku untuk tetap setia?

Sebenarnya, jauh dalam lubuk hatiku, rasa bimbang itu mulai muncul, ditambah dengan sikap mereka yang tidak memberikan dukungan, membuat kebimbangan ini semakin merajai hatiku.

Aku menatap sosok itu dengan hati tak menentu. Betapa inginnya kepala ini mengangguk. Betapa inginnya aku sambut mata yang menjanjikan itu. Betapa ingin aku menangis, menumpahkan segala keluh dan kesah yang selama ini aku rasa. Betapa sulit untuk memutuskan itu semua, karena jauh di sana, ada sepotong hati di mana telah kutorehkan janji. Andai aku bisa menarik segala janji, akan kutarik seluruhnya, karena ternyata aku tak layak menjanjikan apa-apa. Sepotong hati itu adalah tempat di mana aku merajut banyak kenangan. Akhirnya kepalaku menggeleng, perlahan namun pasti.

Apa yang telah ia berikan untukmu? Tidak ada, selain penderitaan, kesepian, dan kekecewaan. Dan anehnya, ternyata kamu masih tetap menyimpan namanya dalam hatimu, bahkan kehadiran sosok yang menawarkan segala kebahagiaan yang selama ini kamu inginkan pun, kamu tolak. Kamu masih bertahan dengan kesetiaanmu yang tak masuk logika.
Mengapa kamu tega menampik ketulusan cinta yang nyata di depan mata, demi cinta pertamamu yang kini mulai semu.

Aku ingin sekali berpegang kepada janji-janji yang pernah kita ucapkan bersama. Aku sayang kamu, aku rindu kamu, tapi rindu yang seolah tak berujung ini justru menyeretku pada kebimbangan demi kebimbangan tanpa tepian. Hatiku galau, setiap hari aku berdo’a untukmu, melakukan segalanya demi menjaga hatiku untukmu. Namun akhirnya aku sadar, aku hanyalah manusia biasa. Mampukah aku menjadi bidadari yang memiliki kesetiaan yang luar biasa, kesetiaan tanpa batas.

Terima kasih, Ya ALLAH, atas segala waktu yang telah membuktikannya. Akhirnya aku mampu menjadi wanita tegar. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku hidup atas dasar dan untuk cinta suci.

Muti’ah, Wanita Shalihah yang Pertama Masuk Jannah-Nya


Pernahkah terbersit dalam pikiran kamu untuk bertanya “Siapa sih wanita yang pertama masuk surga di akhirat kelak?”. Sebuah pertanyaan iseng yang kalo dipikir-pikir sih ternyata membuat kita penasaran juga ya. Jika kamu penasaran (seperti juga aku ketika itu), maka kamu sama penasarannya dengan Siti Fatimah, putri Rasulullah Saw. Ia berniat menanyakan hal ini kepada ayahandanya.

Lalu, apakah kamu menduga bahwa wanita yang pertama masuk surga itu adalah Siti Fatimah? Atau ibunda beliau Siti Khadijah, atau Siti Aisyah ataukah salah satu dari keluarga Rasulullah Saw lainnya? Mmm. Jika iya, jawaban kamu ternyata salah. Inilah hebatnya Islam, tidak mengenal istilah ‘nepotisme’ (hehehe). Dalam sebuah ceramah agama, akhirnya aku tahu, ternyata wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah. kamu kaget? Sama seperti Siti Fatimah ketika itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.

Siapakah Muti’ah? Karena rasa penasaran yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang wanita yang bernama Muti’ah ketika itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang bisa membuat wanita itu bisa masuk surga pertama kali? Mmm, pencarian pun dimulai, sodare-sodare…

Setelah bertanya-tanya, akhirnya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang wanita yang bernama Muti’ah tersebut. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah wanita tersebut, ingin melihat lebih dekat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.

“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.

“Saya Fatimah, putri Rasulullah”

“Oh, iya. Ada keperluan apa?”

“Saya hanya berkunjung saja”

“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”

“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”

“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki”

“Tetapi Hasan masih anak-anak”

“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”

“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.

Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah dialog seperti hari kemarin.

“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”

“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Jadi saya ajak juga!”

“Dia perempuan?”

“Bukan, dia lelaki”

“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”

“Tetapi dia juga masih anak-anak”

“Walaupun anak-anak, dia juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”

“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa. Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, rahasia apakah yang menyebabkan wanita yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk surga pertama kali.

Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, akhirnya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah karena inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri wanita tersebut.

Menurut Siti Fatimah, wanita yang bernama Muti’ah sama juga seperti dirinya dan umumnya wanita. Ia melakukan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih penasaran juga. Hingga akhirnya ketika telah lama waktu berbincang, “rahasia” wanita itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin karena ada keperluan yang harus dilakukannya.

“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”

“Ada keperluan apa?”

“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”

“Oh, begitu”

Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.

“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.

“Oh, ini. Ini adalah kebiasaanku semenjak dulu”

Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”

“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula aku mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang aku buat ini enak atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka aku ikhlaskan diriku agar suamiku mengambil cambuk tersebut kemudian mencambukku. Ini aku lakukan agar suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan aku pun ridlo atas dirinya”

“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melakukan hal ini, Muti’ah?”

“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”

“Ya… ternyata inilah rahasia itu”

“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.

“Rasulullah Saw mengatakan bahwa dirimu adalah wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”

“Masya Allah… Subhanallah…”

ikhlaskanlah…

Entah apa yang sedang terjadi pada diriku. Pikiranku terpecah menjadi beberapa poin, tapi masih berada di wilayah alam sadarku tentunya. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Berusaha memuntahkan segala rasa yang hadir di kediaman hatiku. Tak tentu arah ke mana rasa itu jatuh hingga berserakan dan menyebar ke segala penjuru arah mata angin.

Ketika mengingat masa lalu yang penuh lika-liku kehidupan, yang berhasil dilewati atas kehendak dan ridhaNya, tak kuasa menahan jatuhan air mata yang tak berhasil kubendung. Kini, ingatan tentang itu tinggallah kenangan, yang tak perduli apakah itu kenangan manis atau pahit sekalipun. Tapi mengapa hal itu masih saja terpendam di hati, rasa ingin berontak terhadap apa yang telah didengar, dilihat, dan dirasakan kembali? Sudahlah, pertanyaan yang cukup aneh dan tidak jelas ke mana arahnya.

Ada satu kata yang kuingat, ikhlas. Ya, berani untuk mengikhlaskannya. Segala sesuatu yang kuinginkan, tak mungkin kudapatkan tanpa kehendak dan ridha dariNya. Segala yang ada di dunia ini hanyalah milikNya. Aku tak memiliki apa-apa tanpa pemberian dariNya. Aku tak mungkin bertahan tanpa pertolongan dariNya. Aku tak mungkin melanjutkan perjalanan kehidupan ini tanpa ada Dia di sampingku. Hanya Dia-lah segala-galanya bagiku.